(m04_author_retty dwi handayani)
Sepertinya menjadi konsumen di saat UU ITE masih berlaku itu lumayan berat. Setidaknya itu yang mampir di benak saya ketika membaca berita bahwa Stella Monica menjalani sidang di PN Surabaya. Stella Monica, seorang netijen dan konsumen klinik kecantikan di Surabaya, dilaporkan kepada pihak berwajib karena melanggar pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik.
Alkisah pada bulan Desember 2019 lalu, melalui IG story-nya, Stella menuliskan testimoni layanan sebuah klinik kecantikan di Surabaya. Dia mengalami kondisi dimana kulitnya justru bermasalah setelah melakukan perawatan di klinik tersebut. Nah, unggahannya tersebut yang menjadi dasar klinik mengadukan Stella ke polisi karena merasa nama baik kliniknya dicemarkan.
Stella pun melalui proses penyidikan sejak Juni 2020, setelah negosiasi atas somasi yang diterimanya dari klinik tersebut gagal. Dan Stella pun akan merayakan ulang tahunnya di tengah-tengah proses sidang yang kini sedang berlangsung.
Berdasarkan pengamatan saya yang sempat diminta menjadi saksi ahli untuk perkara menyangkut UU ITE di Jakarta, saya punya tips bagi konsumen untuk terhindar dari delik pasal tersebut.
===OoO===
Ajukan komplain langsung kepada penyedia layanan
Sebagai konsumen, kita sebenarnya dilindungi oleh UU Perlindungan Konsumen. Di dalam UU tersebut, konsumen berhak didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/jasa yang digunakan. Namun, terkadang ada penyedia barang/jasa yang tinggi sifat 'baper'nya, sehingga sulit buat membedakan mana kritik mana fitnah atau hinaan.
(Ilustrasi complaint management system. Sumber: qualitykick)
Nah, biar aman, komplain konsumen sebaiknya langsung diajukan ke penyedia barang/jasanya saja. Tahan diri untuk tidak buru-buru menggunggah komplain di sosial media. Kadang kala keinginan menggunggah pengalaman itu dilandasi niat untuk mengedukasi konsumen lain.
Idealnya, kritik pengguna layanan itu merupakan masukan berharga bagi penyedia layanannya. Tapi ya itu tadi, tidak semua pihak bisa menerima kritik dengan baik. Maka dari itu, saya menyarankan untuk melayangkan komplain secara langsung saja dulu. Kecuali memang konsumen tahu bahwa karakter penyedia barang/jasanya ramah terhadap komplain atau kritik.
===OoO===
Pastikan bahwa komplain itu terkait langsung dengan penyedia layanan
Mengajukan komplain langsung ke penyedia layanan itu bertujuan untuk memverifikasi kebenaran komplain tersebut. Seringkali komplain diajukan tanpa memastikan terlebih dahulu, apakah efek yang tidak diinginkan itu benar-benar terkait langsung dengan penyedia layanan atau tidak. Kalau gegabah mengajukan komplain, jatuhnya akan jadi fitnah, bukan?
Misalnya pada kasus Stella vs klinik kecantikan di atas, apakah masalah kulit Stella adalah benar akibat layanan yang diberikan klinik atau karena hal lainnya, misalnya pengaruh makanan, human error, cuaca, dll. Seyogianya dua belah pihak bisa berdiskusi dengan baik untuk sama-sama mencari solusi.
Penting juga diperhatikan, ketika hendak menggunakan barang/jasa, konsumen membaca syarat dan ketentuan yang berlaku. Misalnya, ada pantangan makanan atau treatment khusus selama menggunakan produk, atau kondisi tertentu lainnya. Atau ada efek samping yang perlu diwaspadai oleh konsumen.
Tidak ada produk atau layanan yang mutlak sempurna. Disinilah peran penting bagian Quality Control dari sebuat penyedia barang atau jasa. Sebelum diterima konsumen, bagian ini yang punya tanggung jawab memastikan apakah sudah memenuhi standar atau tidak. Ketika ada komplain maka bagian ini pula yang harus dilibatkan dalam pengecekan.
Itulah gunanya verifikasi, yaitu memastikan bahwa keluhan atau komplainnya tidak salah alamat.
===OoO===
Kalau mau posting di sosial media, cek berkali-kali sebelum posting
Seringkali kita berpikir bahwa apa yang kita alami perlu diketahui juga oleh orang lain. Sehingga muncul hasrat untuk membaginya di sosial media. Saran saya, jika memang ingin mempostingnya, prinsip kehati-hatian perlu dijunjung tinggi.
(Ilustrasi check dan recheck. Sumber: qrcode.inc)
Sebisa mungkin mengunggah cerita atau berbagi pengalaman ketika perasaan sedang netral, tidak diliputi rasa marah. Biasanya kalau sedang marah, sebagian orang sulit mengontrol diri.
Ketika komplain itu diumumkan ke publik, efeknya bagi penyedia layanan atau barang itu besar sekali. Sadari bahwa postingan kita itu menentukan hidup matinya atau lahan rejeki orang lain. Lebih-lebih kalau ternyata komplain itu salah alamat, seperti diuraikan pada tips sebelumnya. Susah payah orang membangun usaha, mendadak bubar gara-gara postingan yang belum bisa dibuktikan kebenarannya. Disini diperlukan pula empati terhadap penyedia barang atau jasa.
Batasan antara kritikan dan penghinaan ini tipis kalau tidak boleh dibilang kabur. Jangan sampai niat menyampaikan kritikan malah dianggap menghina atau mencemarkan nama baik. Seringkali laporan pencemaran nama baik karena komplain itu dinilai menghina pelapornya.
Kehati-hatian ini penting sekali karena unggahan sosial media bisa jadi dokumen pendukung jika Anda digugat atau berperkara. Ibarat pepatah bilang, mulutmu harimaumu, maka postingan sosial media ini adalah harimaunya.
Tips di atas bagi sebagian orang mungkin dianggap main aman saja dan tidak memuaskan. Bagi saya, sebelum UU ITE direvisi, lebih baik mengamankan diri sendiri saja.
Retty
Opini ini dapat juga dibaca di platform qureta dengan mengakses tautan berikut: https://www.qureta.com/next/post/tips-untuk-konsumen-agar-aman-dari-jeratan-uu-ite
0 Komentar
Apa tanggapanmu?