(m04_author_retty dwi handayani)
Kemarin sore, Abdul bersungut-sungut menunjukkan selembar kertas yang diterimanya dari Bea Cukai. "Vitamin yang kubeli dari Australia kena Lartas!", begitu ujarnya. Lartas itu larangan dan pembatasan, tambahnya. "Trus gimana? Barangnya tidak bisa diambil apa gimana?!". Dia tidak menjawab dan hanya mengangkat bahu.
Setelah mencari tahu, ternyata Lartas itu adalah barang yang dilarang dan/atau dibatasi pemasukan atau pengeluarannya ke dalam maupun dari daerah pabean. Barang-barang yang masuk kategori lartas ini banyak, antara lain barang bekas, limbah B3, narkotika, dan vitamin juga termasuk salah satunya.
Alasan utama diberlakukannya barang lartas adalah melindungi kepentingan nasional. Barang lartas tercantum dalam sebuah daftar yang diterbitkan oleh instansi teknis kepada Menteri Keuangan dan diawasi oleh Ditjen Bea Cukai (DJBC). Instansi teknis yang dimaksud adalah yang berwenang menetapkan peraturan lartas atas barang impor atau ekspor.
Vitamin seperti yang dibeli Abdul dari sebuah situs belanja di Australia adalah salah satu komoditi lartas yang terkait dengan BPOM. Kebetulan pengiriman dari Jepang menggunakan jasa EMS atau Express Mail Service karena alamat domisili Abdul di wilayah Jakarta sehingga dokumen lartasnya diterbitkan oleh Bea Cukai Kantor Pos Pasar Baru Jakarta.
Alasan Abdul membeli vitamin impor itu adalah untuk meningkatkan imunitas tubuh. Sesuai anjuran pemerintah, daya tahan tubuh diperkuat agar tidak mudah terkena penyakit. Setelah membandingkan beberapa produk, akhirnya mantaplah dia untuk membeli vitamin sekaligus dalam jumlah banyak untuk persediaan beberapa bulan ke depan.
Vitamin yang dibeli oleh Abdul sebenarnya juga ada yang beredar di Indonesia. Namun, entah kenapa, dia tetap saja membeli dari luar negeri. Jumlahnya pun banyak, lebih dari batasan 5 pcs. Alasannya karena lebih murah ongkos kirimnya dan ada diskon untuk pembelian jumlah banyak. Belakangan, dia mengaku bahwa beberapa item vitaminnya adalah titipan teman dan follower media sosialnya. Tentu saja, Abdul mengutip ongkos dari titipannya itu alias berlaku sebagai jastip atau jasa titip.
Sejak pandemi melanda setahun lalu, Bea Cukai menerapkan kebijakan barang terkait penanganan COVID-19. Kebijakan itu berupa pembebasan bea masuk bagi beberapa komoditi, yakni obat-obatan, vitamin, dan APD (Alat Pelindung Diri). Tujuannya tentu saja mendukung kelancaran penanganan pandemi.
Tentu saja kebijakan tersebut tidak lantas membebaskan impor semua jenis vitamin masuk ke Indonesia. Tetap ada batasan-batasan, terkait jumlah dan kepentingan impornya untuk apa. Aturan impor penggunaan pribadi ini tidak hanya untuk barang kiriman, melainkan juga berlaku untuk barang tentengan penumpang.
Sepanjang pandemi, jumlah barang kiriman meningkat karena adanya pembatasan mobilitas orang. Sebaliknya, barang tentengan pun jumlahnya menurun karena larangan terbang yang diberlakukan. Sejak Agustus 2020, aturan jumlah maksimal barang yang diperbolehkan diimpor untuk penggunaan pribadi sudah ditetapkan. Batasan untuk vitamin maksimal 5 pcs, begitu pula batasan untuk obat tradisional. Sementara untuk kosmetik maksimal 20 pcs, dan pangan olahan maksimal 5 kg.
Penerima barang seperti Abdul tentu berpikir, kan barang itu dibeli pake uang sendiri dan membayar ongkos kirim pula, kenapa harus dibatasi? Ya memang gitu, karena balik lagi ke alasan diberlakukannya lartas, yakni untuk melindungi kepentingan nasional.
Produk konsumsi seperti obat tradisional, vitamin, kosmetik, dan pangan merupakan produk yang mampu disediakan oleh industri di dalam negeri. Sehingga dengan meningkatnya impor produk tersebut maka pasar produk dalam negeri sedikit banyak akan terganggu. Apalagi dengan maraknya jastip beberapa tahun belakangan, jika tidak dilakukan pembatasan maka pasar lokal akan makin tergerus.
Masalah lartas barang pribadi ini perlu terus disosialisasikan. Terutama dengan meningkatnya volumen impor untuk penggunaan pribadi saat ini. Hal ini perlu dilakukan agar penerima barang terhindar dari kerugian tidak bisa menerima barang yang sudah dibelinya. Selain itu, para pengusaha jastip juga sebaiknya tidak memperdagangkan produk yang diimpornya dengan dalih penggunaan pribadi.
Komersialisasi barang impor yang tadinya dimaksudnya untuk tujuan pribadi merupakan tindak kejahatan. Selain berpotensi merugikan negara dari segi ekonomi dan pajak, juga dapat merugikan konsumennya. Beberapa produk didesain untuk penggunaan sesuai standar yang berlaku di negaranya. Kondisi ini belum tentu cocok untuk digunakan oleh konsumen di negara lain. Sehingga mutu dan keamanan produk ini tidak ada yang menjamin.
Pada akhirnya, Abdul harus merelakan produk vitamin impornya sebagian ditegah oleh pihak Bea Cukai. Pelajaran berharga yang diperolehnya cukup mahal juga kali ini.
Pesan utama:
"Pemenuhan kebutuhan penunjang kesehatan di masa pandemi tetap terikat oleh batasan peraturan"
Retty
Esai ini juga dapat dibaca pada platform kumparan dengan mengakses tautan berikut:
0 Komentar
Apa tanggapanmu?